POLEMIK PENCABUTAN RUU
PKS: SULITATAU TIDAK PENTING?
Usulan tentang penghapusan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas prioritas 2020 menimbulkan tanda tanya.
Pembahasan yang dianggap terlalu sulit menjadi alasan RUU PKS ini ingin di
hapuskan dari prolegnas prioritas 2020.
Kamis,
(6/8) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ
menyelenggarakan Diskusi Publik (Duplik) yang bertajuk “Polemik Pencabutan RUU
PKS: Sulit atau Tidak Penting”. Pada Duplik kali ini menghadirkan empat
pembicara, yakni, Anggota Komisi VIII DPR-RI, Lisda Hemdrajoni, Komisioner
Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ, Beniharmoni
Harefa, Arryman Scholar, Sabina Puspita. Pada Duplik ini juga dipandu oleh
Dinda Putri, Selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak sebagai moderator.
Sabina
Puspita sebagai pemantik pertama menjabarkan terdapat garis besar tentang
Polemik dari RUU PKS. Mengapa RUU PKS ini penting, Kemudian soal pengalihan Isu
yang beredar di masyarakat, kemudian
Pandangan strategis soal RUU PKS.
“RUU
PKS ini urgensi nya sangat penting mengigat ini merupakan perlindungan paling
minimal bagi para korban yang mengalami kekerasan seksual,” ujar Sabina.
Kemudian
Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan juga menambahkan pentingnya RUU PKS ini
dan bagaimana sejarah dan perjuangan untuk dapat meloloskan RUU PKS ini. Karena
sejak berdirinya Komnas Perempuan mereka sudah fokus untuk melindungi perempuan
dari kekerasan seksual yang kerap dialami oleh perempuan.
“Ada
kecenderungan untuk menyalahkan korban lalu juga ada revictimisasi, kemudian
tidak adanya perlindungan yang baik terhadap korban dan saksi sehingga
menyebabkan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual,” menurut wanita yang kerap
disapa Rini itu.
Dilanjutkan
oleh Lisda Hendrajoni. Menurutnya, pentingnya RUU PKS ini menjadi penting
karena fenomena kekerasan seksual yang
terus meningkat, dan tidak ada nya payung hokum yang jelas terhadap kasus ini.
Ia berharap usahanya untuk memasukan RUU PKS ini ke prolegnas dan tentunya
dapat segera di sah kan
“Pentingnya
RUU PKS ini karena fenomena kekerasan
terhadap perempuan ini terus meningkat setiap tahunnya semisal di tahun 2019
mencapai 5000 kasus dan di Januari
hingga Mei 2020 di tengah pandemic ini mencapai sekitar 500 kasus,
sehingga dapat dikatakan ini darurat sekali,” ujar Anggota Komis VIII DPR-RI
Fraksi Partai Nasdem itu.
Beniharmoni
Harefa menjelaskan bahwa Kekerasan seksual ini merupakan salah satu kejahatan
serius karena kejahatan tersebut telah memenuhi 5 indikator untuk dapat
dikatakan sebagai kejahatan yang sangat jahat dan sangat tercela.
“Ya
kejahatan seksual ini dapat dikatakan sebagai kejahatan yang sangat jahat (Graviora Delicta), Karena dampak
victimisasi nya ini sangat luas dan dapat berlangsung sangat lama, bahkan
seumur hidup korban kekerasan seksual tidak akan bisa melupakan bahkan beberapa
kasus korban ini menjadi pelaku”. Ujar Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ itu.
Lebih lanjut Beni mendukung untuk RUU PKS ini dengan segera, mengingat kejahatan seksual itu merupakan salah satu kejahatan yang sangat jahat dan masih banyak nya korban dari kekerasan seksual yang tidak mendapat keadilan. Dan masih banyak pelaku yang berkeliaran.
Tuntutan Reformasi Polri dinilai
mengalami kemunduran bukan kemajuan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FH UPNVJ)
menyelenggarakan diskusi yang bertema Reformasi Polri
Kamis, (2/7) lalu, Departemen Kajian
dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ menyelenggarakan Duplik yang
bertajuk “Urgensikah Reformasi Polri?”. Pada Duplik kali ini
menghadirkan tiga pembicara yakni, Staf Manajemen Pengetahuan YLBHI, Aditia
Bagus Santoso, Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri, dan mantan
Koordinator Kontras 2017-2020, Yati Andriyani. Pada Duplik ini juga dipandu
oleh Rizkydhio Putera Bermuda, selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak
sebagai moderator.
Ghufron Mabruri sebagai pemantik
pertama menyampaikan bahwa reformasi polri bukan hanya sebagai agenda, akan
tetapi sebagai langkah perubahan yang tidak mengenal waktu. Polri juga harus
menghentikan cara-cara represif dalam menangani suatu permasalahan.
“Dengan polri menggunakan cara-cara
represif, tentu akan mengancam kebebasan di ruang publik, oleh karena itu polri
harus membuka diri dan menerima kritik dari masyarakat,” jelas Ghufron.
Yati mengungkapkan bahwa untuk menjaga
instrumen demokrasi, polri sebagai institusi penegakan hukum tidak boleh
membatasi kebebasan berpendapat dari masyarakat. Netralitas polri juga masih
dipertanyakan karena banyaknya perwira polri yang menempati posisi di
pemerintahan dan ada yang masih aktif di polri, dimana jika seandainya masih
dibutuhkan dapat dipanggil kembali.
“Seperti UU ITE yang dipergunakan
untuk menyasar masyarakat yang kritis, begitu pula pada demonstrasi yang pernah
terjadi di Papua, kepolisian menggunakan pasal yang menganggap bahwa
demonstrasi di papua disebut sebagai makar. Dapat dikatakan bahwa hukum yang
diterapkan untuk mengintimidasi bukan sebagai penegakan hukum,” ungkap Yati.
Yati juga beranggapan bahwa polri sering
ada ketidakjelasan dalam penanganan kasus seperti kasus korupsi.
“Kepolisian juga salah satu institusi
yang “termonitor” oleh KPK,” tambah Yati.
Aditia Bagus Santoso, atau yang akrab
disapa Adit juga berpendapat bahwa polri telah menjadi otoritarianisme pemerintah
dengan membungkam HAM dan masih jauh dari harapan reformasi polri. Polri
dianggap ingin mendapatkan keistimewaan seperti yang didapat TNI pada orba.
Kebebasan Berpendapat menjadi salah satu buah manis dari demokrasi. Tanpa
kebebasan berpendapat, demokrasi akan meloncat mundur dan menjadi negara
otoriter. Adit menyebutkan ada 4 pola untuk membatasi kebebasan berpendapat
diantaranya intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan.
“Tindakan represi selama orba menjadi
budaya yang sudah mengakar dalam tubuh institusi polri,” jelas Adit.
Menurut Adit, reformasi telah
menyingkirkan ABRI dari pemerintahan, tapi kini ia bangkit kembali, tetapi kali
ini aktornya adalah kepolisian. Hal Ini tampak dari beberapa posisi di
Kementerian, Non-Kementerian, BUMN, Duta Besar dan Asosiasi Independen yang
diisi oleh Polisi yang aktif maupun sudah tidak aktif (purnawirawan). Posisi
tersebut strategis seperti: Ketua KPK, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), Menteri Dalam Negeri,
Duta Besar, Komisaris BUMN hingga menjadi Direktorat Jenderal maupun
Inspektorat Jenderal di beberapa Kementerian lainnya.
“Polisi ingin mendapatkan
keistimewaan seperti yang didapat TNI pada Orba,” jelas Adit.
Lebih lanjut, ADit berpendapat, haI
ini akan menimbulkan Konflik kepentingan dan pertanyaan. “Memangnya tidak ada
lagi Pejabat berkompeten di tubuh Kementerian dan Lembaga tersebut?haruskah
menggunakan pensiunan maupun Polisi aktif? Atau ada kepentingan lain dibaliknya
seperti politik balas budi misalnya,” ungkap Adit.
Ingar Bingar Tuntutan Satu Tahun JPU Terhadap Novel Baswedan
Polemik
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus penyerangan Novel Baswedan
dinilai jauh dari esensi keadilan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FH UPNVJ)
menyelenggarakan diskusi yang bertemakan tuntutan satu tahun JPU terhadap Novel
Baswedan
Kamis,
(25/6) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ menyelenggarakan
Duplik yang bertajuk “Ingar Bingar Tuntutan Satu Tahun JPU Terhadap Novel
Baswedan”. Pada Duplik kali ini menghadirkan Novel Baswedan sebagai pemantik
diskusi. Serta tiga pembicara lain yakni, Guru Besar Hukum Pidana UPNVJ,
Bambang Waluyo, Penasehat Hukum Novel Baswedan, Shaleh Al Ghifari, dan Peneliti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Pada Duplik ini juga
dipandu oleh Dinda Putri, selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak
sebagai moderator.
Novel
Baswedan memantik jalannya diskusi dengan menyampaikan dua perspektif, yakni
perspektif hukum serta fakta-fakta yang berkorelasi dengan hal tersebut. Terkait hal hukum, Novel mengatakan, sejak
awal ketika penyidikan kasus ini, penyidik menggunakan pasal 170 tentang
pengeroyokan. Kemudian menurut Novel, proses itu terus berjalan dalam
penyidikan.
“Saya
memberikan keterangaan, menyampaikan masukan ke penyidik bahwa bukan pasal 170
KUHPseharusnya. Karena penyerang saya bukan keduanya menyerang, tapi salah satu
membantu,” jelas Novel.
Novel
juga mengatakan, penyerangan terhadap dirinya, dilakukan dengan sedemikian
rupa, dan ada pembagian peran. Dalam penyidikan, Novel juga menyampaikan bukti
dan fakta mendukung dalam kasusnya. Menurut Novel, bahwa seharusnya pasal yang lebih
tepat untuk kasusnya adalah terkait percobaan pembunuhan bernecana, yaitu pasal
340 juncto Pasal 55 KUHP.
“Karena
air keras yang disiram kepada saya banyak, dan saya juga sempat gagal napas,”
kata Novel.
Novel
juga berpendapat, jika penyidik beranggapan bahwa kasusnya adalah terkait
dengan pasal penganiayaan, maka seharusnya pasal yang diterapkan adalah pasal
355 ayat 1 junto pasal 356 KUHP. Lebih lanjut, menurut Novel, karena serangan
terhadap dirinya dilakukan berencana dan penganiayaan berat, dan menyasar
dirinya sebagai penegak hukum, maka menurut Novel, seharusnya ada apenambahan
1/3 hukuman pidana bagi pelaku.
Lebih
lanjut, menurut penuturan Novel, ia merasa kaget karena dalam dakwaannya
kemudian proses yang dikatakan dalam persidangan, penyerangan hanya dilakukan
dua orang dan motifnya dendam pribadi, dan media penyerangannya adalah air aki.
“Ketika
itu dikatakan dalam pemeriksaan persidangan saya menyampaikan keterangan
seoptimal mungkin. Bahkan sebelum persidangan, saya menyampaikan keterangan
tertulis dan kemudian saya serahkan investigasi laporan Komnas HAM,” jelas
Novel
Menurut
Novel, dalam laporan yang dikeluarkan Komnas HAM, dijelaskan adanya abuse of
process. Serangan ini juga terkait dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik korupsi
di KPK. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan, pelaku penyerangan juga dilakukan secara sistematis. Novel juga
semakin terkejut, ketika saksi-saksi kunci tidak dihadirkan dalam persidangan.
“Alasanya
karena tidak masuk berkas perkara. Hingga persidangan selesai, tidak dipanggil sama
sekali,” jelas Novel.
Menurut
Novel, terdapat beberapa bukti penting yang hilang. Ia memberikan contoh,
diamankannya sebuah botol oleh tim laboratoium forensik. Botol tersebut
merupakan wadah ketika air keras itu dibawa. Kemudia air keras itu dituangkan
ke gelas, yang tumpahannya juga menurut Novel, masih terlihat di beton berubah
warna. Anehnya menurut pengakuan Novel, botol tersebut tidak dijadikan alat bukti.
Alat
bukti lain yang juga hilang adalah baju yang dipakai Novel saat persidangan
juga tidak dimasukan sebagai alat bukti. Bahkan menurut Novel, bagian depan
baju tersebut dipotong secara rapi. Novel juga beranggapan, jaksa dalam
menyampaikan tuntutannya, hanya mengakomodir fakta yang disampaikan terdakwa. Sementara
fakta yang disampaikan Novel, tidak diakomodir.
Hal
menarik lainnya menurut Novel, adalah ketika dalam proses persidangan, tidak
diperiksa peristiwa sebelum penyerangan. Menurut Novel, peristiwa sebelum
penyerangan dibatasi. Hanya boleh disampaikan keterangan sata penyerangan. Menurut Novel, jaksa juga menyampaikan pelaku
hanya dua orang.
“Padahal
ini hanya bisa dijelaskan ketika menyelidiki sebelum persidangan,” kata Novel.
Bambang
Waluyo juga mengungkapkan, rendahnya tuntutan JPU digambarkan seperti Covid-19.
Tentu saja dengan rendahnya tuntutan JPU, menurut Bambang, ttimbul pertanyaan
mengapa dan bagaimana.
“Dari
yang disampaikan pak Novel tadi, kasus posisinya tidak benar, proses hukumnya
kurang benar, tuntutannya juga tidak adil,” jelas Bambang.
Bambang
mengungkapkan mengapa tuntutan Jaksa hanya satu tahun terhadpa kasus Novel
Baswedan. Menurutnya, hal tersbeut timbul karena adnya pra penuntutan. Dalam
pra penuntutan, menurut Bambang, jaksa kurang teliti, serta tidak memenuhi
unsur 5W + 1H. Sehingga menurut Bambang, kesempurnaan berkas BAP tidak lengkap.
Lebih
lanjut menurut Bambang, kaitannya dengan dakwaan, karena hasil pra penuntutan
kurang sempurna sehingga adanya tuntutan
jaksa yang rendah. Sebenarnya jika berkaca dari tanggapan Novel, adanya unsur
luka berat, adanya dengan rencana. Namun demikian dari hasil fakta persidangan
JPU menganggap hal itu tidak ada, sehingga yang disampaikan dalam penuntutan
terbukti pasal 353 juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.
“Yang
lebih menyakitkan lagi tuntutan hanya satu tahun penjara. Padahal maksimalnya 7
tahun,” tambah Bambang.
JPU
menganggap tidak adanya alasan perencanaaan. Padahal menurut Bambang, dengan pelaku
mendatangi rumah Novel, itu sudah masuk ke dalam niat dan rencana. Bambang mengungkapkan,
tidak mungkin jika tidak direncanakan.
“Jadi
dalam kasus ini, ada perencaanaan, niat, sengaja. Dalam kasus ini, masuk
perbuataan sengaja dengan kemungkinan,” ungkap Bambang.
Menurut
Bambang, dari tuntutan JPU yang mengungkapkan pelaku tidak sengaja, menurut teorinya,
sangat tidak benar. Lebih lanjut, menurut Bambang, dalam hal luka berat, Novel
luka berat. Novel sebagai penegak hukum, pelakunya juga penegak hukum.
“Dalam
KUHP harus ditambahkan 1/3. Kembali ke tuntutan satu tahun, itu hal tidak professional.
Tuntutan satu tahun ini tuntutan yang tidak baik,” jelas Bambang.
Menurut
Bambang, Jaksa tidak professional dan melanggar kode etik. Padahal dalam
pedoman tuntutan kejaksaan, ada dua hal perihal meringankan dan memberatkan.
Dalam kasus ini, Bambang menganggap masuk dalam memberatkan. Artinya tuntunan
yang diberikan kepada pelaku harus memberatkan. Bambang memberikan contoh,
misalnya menimbulkan penderitaan, menggangu kestabilan.
“Pedoman
ini udah diatur Jaksa agung, jadi gaboleh ngawur. Jadi demikian, jaksa tidak
mempedulikan pedoman penuntutan,” tambah Bmabang.
Bambang
juga bernaggapan bahwa, hakim harus kita dorong agar menciptakan keadilan,
serta ketenangan di masyarakat. Lebih lanjut, menurutnya, perlu adanya peran
komis kejaksaan untuk mengawal dan mengeksaminasi tuntutan ini.
Menurutnya
juga, harus ada peran DPR, karena menurutnya, penuntutan itu satu dan tidak
terpisahkan. Hal itu disebabkan, karena DPR memiliki fungsi pengawasan,
sehingga harus didorong dalam berperan. Lebih lanjut, peran presiden juga harus
didorong karena dalam UU kejaksaan, Jaksa agung bertanggung jawab kepada
presiden.
“Tentu
dalam kasus yang menjadi polemik ini, presiden harus berkenan menanyakan
profesionalitas dan kode etik terkait perkara tertentu. Peran masyarakat juga
harus didorong. Kalau tidak dikawal seperti itu, peradilannya bisa peradilan
sesat,” jelas Bambang.
Shaleh
Al Ghifari, atau yang akrab disapa Gifar juga mengungkapkan bahwa tuntutan ringan
terdakwa kasus penyiraman air keras Novel Baswedan hanyalah satu dampak dari
penyelidikan dan penyidikan yang tidak independen, tidak kredibel dan
professional. Menurut Gifar, hal itu merupakan scenario sandiwara penegakan
hukum yang berjalan menunjukkan bahwa sejak awal kasus ini ditangani dengan
salah. Masalah mendasar, menurutnya adalah mengenai konflik of interest dan
independensi menjadi penyebab utama dari proses hokum yang tidak jujur dan adil
sehinngga lahirnya berbagai kejanggalan.
“Jadi
sebetulnya Presiden harus bertanggungjawab dalam kegagalan pengungkapan kasus Novel
Baswedan,” jelas Gifar.
Kurnia
Ramadha juga mengungkapkan bahwa serangan terhadpa Novel Baswedan bukan
serangan terhadap individu semata. Pola penyerangan menunjukan bahwa kejahatan
ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Menurut Kurnia, apparat
penegak hukum gagal menuntaskan perkara penyiraman air keras terhadap Novel
Baswedan.
“Presiden
Jokowi lepa stangan dalam upaya mempercepat penanganan penyiraman air keras
terhadap Novel Baswedan,” ungkap Kurnia.
Kurnia
juga beranggapan, bahwa serangan ini menunjukan bahwa negara tidka berpihak
pada isu pemberantasan korupsi. Lebih lanjut, menurut Kurnia juga terdapat
beberaoa problematika dalam penanganan perkara tersebut. Pertama menurut
Kurnia, kejaksaan keliru dalam logika dakwaan, karena menuntut dengan pasal
351, 353 dan 355 KUHP tentang Penganiayaan. Selanjutnya adalah mengenai tiga
orang saksi yang mengetahui kejadian penyiraman, tidak didatangkan oleh JPU.
“Tuntutan
juga melawan akal sehat publik. Padahal ada alasan pemberat terdakwa,” tambah
Kurnia.