FRDM FH UPNVJ Juara 1 Lomba Debat Nasional Riau Law Fair 2019 Pada hari sabtu 23 maret delegasi debat dari Forum Riset dan Debat Mahasiswa Fakultas Hukum UPNVJ atau biasa…
Hidup Mahasiswa !! Hidup Rakyat Indonesia !!! Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum ( Kastrat BEM FH) Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) bersama Komisi Pemilihan…
POLEMIK PENCABUTAN RUU
PKS: SULITATAU TIDAK PENTING?
Usulan tentang penghapusan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas prioritas 2020 menimbulkan tanda tanya.
Pembahasan yang dianggap terlalu sulit menjadi alasan RUU PKS ini ingin di
hapuskan dari prolegnas prioritas 2020.
Kamis,
(6/8) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ
menyelenggarakan Diskusi Publik (Duplik) yang bertajuk “Polemik Pencabutan RUU
PKS: Sulit atau Tidak Penting”. Pada Duplik kali ini menghadirkan empat
pembicara, yakni, Anggota Komisi VIII DPR-RI, Lisda Hemdrajoni, Komisioner
Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ, Beniharmoni
Harefa, Arryman Scholar, Sabina Puspita. Pada Duplik ini juga dipandu oleh
Dinda Putri, Selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak sebagai moderator.
Sabina
Puspita sebagai pemantik pertama menjabarkan terdapat garis besar tentang
Polemik dari RUU PKS. Mengapa RUU PKS ini penting, Kemudian soal pengalihan Isu
yang beredar di masyarakat, kemudian
Pandangan strategis soal RUU PKS.
“RUU
PKS ini urgensi nya sangat penting mengigat ini merupakan perlindungan paling
minimal bagi para korban yang mengalami kekerasan seksual,” ujar Sabina.
Kemudian
Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan juga menambahkan pentingnya RUU PKS ini
dan bagaimana sejarah dan perjuangan untuk dapat meloloskan RUU PKS ini. Karena
sejak berdirinya Komnas Perempuan mereka sudah fokus untuk melindungi perempuan
dari kekerasan seksual yang kerap dialami oleh perempuan.
“Ada
kecenderungan untuk menyalahkan korban lalu juga ada revictimisasi, kemudian
tidak adanya perlindungan yang baik terhadap korban dan saksi sehingga
menyebabkan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual,” menurut wanita yang kerap
disapa Rini itu.
Dilanjutkan
oleh Lisda Hendrajoni. Menurutnya, pentingnya RUU PKS ini menjadi penting
karena fenomena kekerasan seksual yang
terus meningkat, dan tidak ada nya payung hokum yang jelas terhadap kasus ini.
Ia berharap usahanya untuk memasukan RUU PKS ini ke prolegnas dan tentunya
dapat segera di sah kan
“Pentingnya
RUU PKS ini karena fenomena kekerasan
terhadap perempuan ini terus meningkat setiap tahunnya semisal di tahun 2019
mencapai 5000 kasus dan di Januari
hingga Mei 2020 di tengah pandemic ini mencapai sekitar 500 kasus,
sehingga dapat dikatakan ini darurat sekali,” ujar Anggota Komis VIII DPR-RI
Fraksi Partai Nasdem itu.
Beniharmoni
Harefa menjelaskan bahwa Kekerasan seksual ini merupakan salah satu kejahatan
serius karena kejahatan tersebut telah memenuhi 5 indikator untuk dapat
dikatakan sebagai kejahatan yang sangat jahat dan sangat tercela.
“Ya
kejahatan seksual ini dapat dikatakan sebagai kejahatan yang sangat jahat (Graviora Delicta), Karena dampak
victimisasi nya ini sangat luas dan dapat berlangsung sangat lama, bahkan
seumur hidup korban kekerasan seksual tidak akan bisa melupakan bahkan beberapa
kasus korban ini menjadi pelaku”. Ujar Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ itu.
Lebih lanjut Beni mendukung untuk RUU PKS ini dengan segera, mengingat kejahatan seksual itu merupakan salah satu kejahatan yang sangat jahat dan masih banyak nya korban dari kekerasan seksual yang tidak mendapat keadilan. Dan masih banyak pelaku yang berkeliaran.
Tuntutan Reformasi Polri dinilai
mengalami kemunduran bukan kemajuan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FH UPNVJ)
menyelenggarakan diskusi yang bertema Reformasi Polri
Kamis, (2/7) lalu, Departemen Kajian
dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ menyelenggarakan Duplik yang
bertajuk “Urgensikah Reformasi Polri?”. Pada Duplik kali ini
menghadirkan tiga pembicara yakni, Staf Manajemen Pengetahuan YLBHI, Aditia
Bagus Santoso, Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri, dan mantan
Koordinator Kontras 2017-2020, Yati Andriyani. Pada Duplik ini juga dipandu
oleh Rizkydhio Putera Bermuda, selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak
sebagai moderator.
Ghufron Mabruri sebagai pemantik
pertama menyampaikan bahwa reformasi polri bukan hanya sebagai agenda, akan
tetapi sebagai langkah perubahan yang tidak mengenal waktu. Polri juga harus
menghentikan cara-cara represif dalam menangani suatu permasalahan.
“Dengan polri menggunakan cara-cara
represif, tentu akan mengancam kebebasan di ruang publik, oleh karena itu polri
harus membuka diri dan menerima kritik dari masyarakat,” jelas Ghufron.
Yati mengungkapkan bahwa untuk menjaga
instrumen demokrasi, polri sebagai institusi penegakan hukum tidak boleh
membatasi kebebasan berpendapat dari masyarakat. Netralitas polri juga masih
dipertanyakan karena banyaknya perwira polri yang menempati posisi di
pemerintahan dan ada yang masih aktif di polri, dimana jika seandainya masih
dibutuhkan dapat dipanggil kembali.
“Seperti UU ITE yang dipergunakan
untuk menyasar masyarakat yang kritis, begitu pula pada demonstrasi yang pernah
terjadi di Papua, kepolisian menggunakan pasal yang menganggap bahwa
demonstrasi di papua disebut sebagai makar. Dapat dikatakan bahwa hukum yang
diterapkan untuk mengintimidasi bukan sebagai penegakan hukum,” ungkap Yati.
Yati juga beranggapan bahwa polri sering
ada ketidakjelasan dalam penanganan kasus seperti kasus korupsi.
“Kepolisian juga salah satu institusi
yang “termonitor” oleh KPK,” tambah Yati.
Aditia Bagus Santoso, atau yang akrab
disapa Adit juga berpendapat bahwa polri telah menjadi otoritarianisme pemerintah
dengan membungkam HAM dan masih jauh dari harapan reformasi polri. Polri
dianggap ingin mendapatkan keistimewaan seperti yang didapat TNI pada orba.
Kebebasan Berpendapat menjadi salah satu buah manis dari demokrasi. Tanpa
kebebasan berpendapat, demokrasi akan meloncat mundur dan menjadi negara
otoriter. Adit menyebutkan ada 4 pola untuk membatasi kebebasan berpendapat
diantaranya intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan pengawasan.
“Tindakan represi selama orba menjadi
budaya yang sudah mengakar dalam tubuh institusi polri,” jelas Adit.
Menurut Adit, reformasi telah
menyingkirkan ABRI dari pemerintahan, tapi kini ia bangkit kembali, tetapi kali
ini aktornya adalah kepolisian. Hal Ini tampak dari beberapa posisi di
Kementerian, Non-Kementerian, BUMN, Duta Besar dan Asosiasi Independen yang
diisi oleh Polisi yang aktif maupun sudah tidak aktif (purnawirawan). Posisi
tersebut strategis seperti: Ketua KPK, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenpanRB), Menteri Dalam Negeri,
Duta Besar, Komisaris BUMN hingga menjadi Direktorat Jenderal maupun
Inspektorat Jenderal di beberapa Kementerian lainnya.
“Polisi ingin mendapatkan
keistimewaan seperti yang didapat TNI pada Orba,” jelas Adit.
Lebih lanjut, ADit berpendapat, haI
ini akan menimbulkan Konflik kepentingan dan pertanyaan. “Memangnya tidak ada
lagi Pejabat berkompeten di tubuh Kementerian dan Lembaga tersebut?haruskah
menggunakan pensiunan maupun Polisi aktif? Atau ada kepentingan lain dibaliknya
seperti politik balas budi misalnya,” ungkap Adit.
Ingar Bingar Tuntutan Satu Tahun JPU Terhadap Novel Baswedan
Polemik
tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus penyerangan Novel Baswedan
dinilai jauh dari esensi keadilan. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FH UPNVJ)
menyelenggarakan diskusi yang bertemakan tuntutan satu tahun JPU terhadap Novel
Baswedan
Kamis,
(25/6) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ menyelenggarakan
Duplik yang bertajuk “Ingar Bingar Tuntutan Satu Tahun JPU Terhadap Novel
Baswedan”. Pada Duplik kali ini menghadirkan Novel Baswedan sebagai pemantik
diskusi. Serta tiga pembicara lain yakni, Guru Besar Hukum Pidana UPNVJ,
Bambang Waluyo, Penasehat Hukum Novel Baswedan, Shaleh Al Ghifari, dan Peneliti
Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Pada Duplik ini juga
dipandu oleh Dinda Putri, selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak
sebagai moderator.
Novel
Baswedan memantik jalannya diskusi dengan menyampaikan dua perspektif, yakni
perspektif hukum serta fakta-fakta yang berkorelasi dengan hal tersebut. Terkait hal hukum, Novel mengatakan, sejak
awal ketika penyidikan kasus ini, penyidik menggunakan pasal 170 tentang
pengeroyokan. Kemudian menurut Novel, proses itu terus berjalan dalam
penyidikan.
“Saya
memberikan keterangaan, menyampaikan masukan ke penyidik bahwa bukan pasal 170
KUHPseharusnya. Karena penyerang saya bukan keduanya menyerang, tapi salah satu
membantu,” jelas Novel.
Novel
juga mengatakan, penyerangan terhadap dirinya, dilakukan dengan sedemikian
rupa, dan ada pembagian peran. Dalam penyidikan, Novel juga menyampaikan bukti
dan fakta mendukung dalam kasusnya. Menurut Novel, bahwa seharusnya pasal yang lebih
tepat untuk kasusnya adalah terkait percobaan pembunuhan bernecana, yaitu pasal
340 juncto Pasal 55 KUHP.
“Karena
air keras yang disiram kepada saya banyak, dan saya juga sempat gagal napas,”
kata Novel.
Novel
juga berpendapat, jika penyidik beranggapan bahwa kasusnya adalah terkait
dengan pasal penganiayaan, maka seharusnya pasal yang diterapkan adalah pasal
355 ayat 1 junto pasal 356 KUHP. Lebih lanjut, menurut Novel, karena serangan
terhadap dirinya dilakukan berencana dan penganiayaan berat, dan menyasar
dirinya sebagai penegak hukum, maka menurut Novel, seharusnya ada apenambahan
1/3 hukuman pidana bagi pelaku.
Lebih
lanjut, menurut penuturan Novel, ia merasa kaget karena dalam dakwaannya
kemudian proses yang dikatakan dalam persidangan, penyerangan hanya dilakukan
dua orang dan motifnya dendam pribadi, dan media penyerangannya adalah air aki.
“Ketika
itu dikatakan dalam pemeriksaan persidangan saya menyampaikan keterangan
seoptimal mungkin. Bahkan sebelum persidangan, saya menyampaikan keterangan
tertulis dan kemudian saya serahkan investigasi laporan Komnas HAM,” jelas
Novel
Menurut
Novel, dalam laporan yang dikeluarkan Komnas HAM, dijelaskan adanya abuse of
process. Serangan ini juga terkait dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik korupsi
di KPK. Dalam laporan tersebut juga dijelaskan, pelaku penyerangan juga dilakukan secara sistematis. Novel juga
semakin terkejut, ketika saksi-saksi kunci tidak dihadirkan dalam persidangan.
“Alasanya
karena tidak masuk berkas perkara. Hingga persidangan selesai, tidak dipanggil sama
sekali,” jelas Novel.
Menurut
Novel, terdapat beberapa bukti penting yang hilang. Ia memberikan contoh,
diamankannya sebuah botol oleh tim laboratoium forensik. Botol tersebut
merupakan wadah ketika air keras itu dibawa. Kemudia air keras itu dituangkan
ke gelas, yang tumpahannya juga menurut Novel, masih terlihat di beton berubah
warna. Anehnya menurut pengakuan Novel, botol tersebut tidak dijadikan alat bukti.
Alat
bukti lain yang juga hilang adalah baju yang dipakai Novel saat persidangan
juga tidak dimasukan sebagai alat bukti. Bahkan menurut Novel, bagian depan
baju tersebut dipotong secara rapi. Novel juga beranggapan, jaksa dalam
menyampaikan tuntutannya, hanya mengakomodir fakta yang disampaikan terdakwa. Sementara
fakta yang disampaikan Novel, tidak diakomodir.
Hal
menarik lainnya menurut Novel, adalah ketika dalam proses persidangan, tidak
diperiksa peristiwa sebelum penyerangan. Menurut Novel, peristiwa sebelum
penyerangan dibatasi. Hanya boleh disampaikan keterangan sata penyerangan. Menurut Novel, jaksa juga menyampaikan pelaku
hanya dua orang.
“Padahal
ini hanya bisa dijelaskan ketika menyelidiki sebelum persidangan,” kata Novel.
Bambang
Waluyo juga mengungkapkan, rendahnya tuntutan JPU digambarkan seperti Covid-19.
Tentu saja dengan rendahnya tuntutan JPU, menurut Bambang, ttimbul pertanyaan
mengapa dan bagaimana.
“Dari
yang disampaikan pak Novel tadi, kasus posisinya tidak benar, proses hukumnya
kurang benar, tuntutannya juga tidak adil,” jelas Bambang.
Bambang
mengungkapkan mengapa tuntutan Jaksa hanya satu tahun terhadpa kasus Novel
Baswedan. Menurutnya, hal tersbeut timbul karena adnya pra penuntutan. Dalam
pra penuntutan, menurut Bambang, jaksa kurang teliti, serta tidak memenuhi
unsur 5W + 1H. Sehingga menurut Bambang, kesempurnaan berkas BAP tidak lengkap.
Lebih
lanjut menurut Bambang, kaitannya dengan dakwaan, karena hasil pra penuntutan
kurang sempurna sehingga adanya tuntutan
jaksa yang rendah. Sebenarnya jika berkaca dari tanggapan Novel, adanya unsur
luka berat, adanya dengan rencana. Namun demikian dari hasil fakta persidangan
JPU menganggap hal itu tidak ada, sehingga yang disampaikan dalam penuntutan
terbukti pasal 353 juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.
“Yang
lebih menyakitkan lagi tuntutan hanya satu tahun penjara. Padahal maksimalnya 7
tahun,” tambah Bambang.
JPU
menganggap tidak adanya alasan perencanaaan. Padahal menurut Bambang, dengan pelaku
mendatangi rumah Novel, itu sudah masuk ke dalam niat dan rencana. Bambang mengungkapkan,
tidak mungkin jika tidak direncanakan.
“Jadi
dalam kasus ini, ada perencaanaan, niat, sengaja. Dalam kasus ini, masuk
perbuataan sengaja dengan kemungkinan,” ungkap Bambang.
Menurut
Bambang, dari tuntutan JPU yang mengungkapkan pelaku tidak sengaja, menurut teorinya,
sangat tidak benar. Lebih lanjut, menurut Bambang, dalam hal luka berat, Novel
luka berat. Novel sebagai penegak hukum, pelakunya juga penegak hukum.
“Dalam
KUHP harus ditambahkan 1/3. Kembali ke tuntutan satu tahun, itu hal tidak professional.
Tuntutan satu tahun ini tuntutan yang tidak baik,” jelas Bambang.
Menurut
Bambang, Jaksa tidak professional dan melanggar kode etik. Padahal dalam
pedoman tuntutan kejaksaan, ada dua hal perihal meringankan dan memberatkan.
Dalam kasus ini, Bambang menganggap masuk dalam memberatkan. Artinya tuntunan
yang diberikan kepada pelaku harus memberatkan. Bambang memberikan contoh,
misalnya menimbulkan penderitaan, menggangu kestabilan.
“Pedoman
ini udah diatur Jaksa agung, jadi gaboleh ngawur. Jadi demikian, jaksa tidak
mempedulikan pedoman penuntutan,” tambah Bmabang.
Bambang
juga bernaggapan bahwa, hakim harus kita dorong agar menciptakan keadilan,
serta ketenangan di masyarakat. Lebih lanjut, menurutnya, perlu adanya peran
komis kejaksaan untuk mengawal dan mengeksaminasi tuntutan ini.
Menurutnya
juga, harus ada peran DPR, karena menurutnya, penuntutan itu satu dan tidak
terpisahkan. Hal itu disebabkan, karena DPR memiliki fungsi pengawasan,
sehingga harus didorong dalam berperan. Lebih lanjut, peran presiden juga harus
didorong karena dalam UU kejaksaan, Jaksa agung bertanggung jawab kepada
presiden.
“Tentu
dalam kasus yang menjadi polemik ini, presiden harus berkenan menanyakan
profesionalitas dan kode etik terkait perkara tertentu. Peran masyarakat juga
harus didorong. Kalau tidak dikawal seperti itu, peradilannya bisa peradilan
sesat,” jelas Bambang.
Shaleh
Al Ghifari, atau yang akrab disapa Gifar juga mengungkapkan bahwa tuntutan ringan
terdakwa kasus penyiraman air keras Novel Baswedan hanyalah satu dampak dari
penyelidikan dan penyidikan yang tidak independen, tidak kredibel dan
professional. Menurut Gifar, hal itu merupakan scenario sandiwara penegakan
hukum yang berjalan menunjukkan bahwa sejak awal kasus ini ditangani dengan
salah. Masalah mendasar, menurutnya adalah mengenai konflik of interest dan
independensi menjadi penyebab utama dari proses hokum yang tidak jujur dan adil
sehinngga lahirnya berbagai kejanggalan.
“Jadi
sebetulnya Presiden harus bertanggungjawab dalam kegagalan pengungkapan kasus Novel
Baswedan,” jelas Gifar.
Kurnia
Ramadha juga mengungkapkan bahwa serangan terhadpa Novel Baswedan bukan
serangan terhadap individu semata. Pola penyerangan menunjukan bahwa kejahatan
ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Menurut Kurnia, apparat
penegak hukum gagal menuntaskan perkara penyiraman air keras terhadap Novel
Baswedan.
“Presiden
Jokowi lepa stangan dalam upaya mempercepat penanganan penyiraman air keras
terhadap Novel Baswedan,” ungkap Kurnia.
Kurnia
juga beranggapan, bahwa serangan ini menunjukan bahwa negara tidka berpihak
pada isu pemberantasan korupsi. Lebih lanjut, menurut Kurnia juga terdapat
beberaoa problematika dalam penanganan perkara tersebut. Pertama menurut
Kurnia, kejaksaan keliru dalam logika dakwaan, karena menuntut dengan pasal
351, 353 dan 355 KUHP tentang Penganiayaan. Selanjutnya adalah mengenai tiga
orang saksi yang mengetahui kejadian penyiraman, tidak didatangkan oleh JPU.
“Tuntutan
juga melawan akal sehat publik. Padahal ada alasan pemberat terdakwa,” tambah
Kurnia.
Seberapa Penting SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus?
Salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual di kampus
adalah karena tidak adanya regulasi yang mengatur Standar Operasional Prosedur
(SOP) Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Kamis,
(14/5) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ
menyelenggarakan Duplik yang bertajuk “Seberapa Penting SOP Penanganan
Kekerasan Seksual di Kampus?”. Pada Duplik kali ini menghadirkan tiga
pemantik diskusi, yakni Dosen FH UPNVJ, Rosalia Dika, Ketua BEM Institut
Kesenian Jakarta (IKJ) Tahun 2019, Erviana Madalina, dan Ketua BEM Universitas
Indonesia (UI), Fajar Adi Nugroho. Pada
Duplik ini juga dipandu oleh Fikhri Syafar, selaku Ketua BEM FH UPNVJ yang
bertindak sebagai moderator.
Diawal
diskusi, Rosalia menjelaskan mengenai definisi Kekerasan seksual. Menurutnya,
mengacu pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS),
kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,
dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau
fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat
atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis,
seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Lebih
lanjut, menurut Rosalia, ciri khusus dari kekerasan seksual adalah adanya
relasi kuasa. Ia memberikan contoh, misalnya dari dosen ke mahasiswa, dosen
senior ke dosen junior, dari dosen ke pegawai, dari mahasiswa senior ke junior,
dan lain sebagainya.
“Relasi
kuasa dimana pelaku mempunyai suatu kuasa untuk memberikan tekanan terhadap
korban sehingga korban dibuat tidak berdaya,” jelas Rosalia.
Menurut
Rosalia, SOP Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus penting untuk mengisi
kekosongan akibat belum disahkannya RUU P-KS. Selain itu, menurutnya juga SOP
Penanganan Kekerasan Seksual mampu memberikan kerahasiaan, karena menurutnya,
sering kali korban takut melapor karena birokrasi yang tidak jelas dan juga
masyarakat kita mempunyai budaya yang menyalahkan korban.
Selain
itu juga menurut Rosalia, SOP Penanganan Kekerasan Seksual dapat menjamin
keselamatan peserta didik dari ancaman kekerasan seksual. SOP Penanganan
Kekerasan Seksual juga mampu menjadi pusat pengaduan yang melindungi korban
dengan adanya suatu gugus kerja sebagai wadah terpadu untuk mendampingi dan
memproses pengaduan korban kekerasan seksual.
“SOP
Penanganan Kekerasan Seksual juga mampu membantu korban dalam pelaporan hukum
maupun pendampingan psikologis, membangun kesadaran tentang relasi kuasa dan merupakan
suatu peringatan bahwa ada publik yang sedang mengawasi, dan ada aturan yang
bisa menjerat Pelaku Kekerasan Seksual,” jelas Rosalia.
Lebih
lanjut, Erviana Madalina atau yang lebih akrab disapa Vian juga memaparkan bahwa
kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus menempati peringkat
ketiga dari setiap kejadian kekerasan seksual yang terjadi di tempat umum. Di
Kampusnya sendiri, yakni IKJ, kasus kekerasan seksual pernah terjadi pada tahun
2019 saat Vian menjadi Ketua BEM IKJ. Menurutnya hal itu menjadi pemicu aksi
anti kekerasan seksual oleh berbagai pihak salah satunya adalah BEM IKJ.
“Menanggapi
kasus tersebut BEM IKJ melakukan sebuah survei terkait kekerasan seksual yang
terjadi di IKJ yang akhirnya menjadikan isu kekerasan seksual semakin terdengar
dan diperhatikan,” jelas Vian.
Lebih lanjut menurut Vian, langkah taktis dalam menangani
atau menanggulangi masalah kekerasan seksual adalah dengan melakukan edukasi
kepada seluruh sivitas akademika, membentuk satu unit khusus, dan juga
merangkul semua elemen sivitas akademika. Edukasi terkait isu kekerasan seksual
dapat dilakukan dengan diskusi publik ataupun melalui kampanye di sosial media.
Menurut
Vian, unit khusus dibuat bertujuan untuk mendampingi korban dalam menjalani proses
penanganan kasus yang dialaminya baik pendampingan secara hukum maupun
psikologis. Unit khusus di IKJ dikenal dengan nama Jemari IKJ yang sampai saat
ini masih aktif dalam mengawal isu kekerasan seksual di IKJ.
Vian
bercerita, bahwa perjuangan dia dan teman-temannya dalam memperjuangkan kasusu
kekerasan seksual di kampusnya membuahkan hasil, yakni dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Dekan Fakultas Film Ilmu dan Televisi (FFTV) IKJ yang berisi sanksi
terhadap pelaku Kekerasan Seksual baik yang dilakukan oleh mahasiswa maupun
dosen.
“Sanksi
tersebut berupa surat teguran, skorsing, ataupun dropout bagi mahasiswa.
Sementara bagi dosen dapat berupa surat teguran, atau pemberhetian dari jabatan
struktural secara tidak terhormat,” tambah Vian.
Senada
dengan Vian, Fajar juga mengungkapkan bahwa isu kekerasan seksual di kampusnya,
dipicu karena kasus pemerkosaan yang dilakukan Sastrawan Sitok Srengenge
terhadap mahasiswi berinisial RW. Disambung lagi dengan tidak kunjung
disahkannya RUU P-KS kian membuat kasus kekerasan seksual menjadi tidak
tertanggulangi.
Menurut
Fajar, RUU P-KS dapat menjadi rujukan untuk regulasi penanganan kekerasan
seksual khususnya dilingkungan kampus. Pada saat ia menjadi Ketua BEM FH UI, ia
melakukan penelitian pada tahun 2018 terkait kekerasan seksual di Fakultasnya.
Alhasil dari 177 responden, 22 diantaranya mengaku pernah mengalami kekerasan
seksual.
“Pada
akhir tahun 2019 dosen FH dan FIB UI menerbitkan buku saku SOP Penanganan Kekerasan
Seksual. Kedua dosen tersebut juga merangkul BEM UI, BEM FH, BEM FIB, dan
Hopehelps layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus UI,”jelas
Fajar.
Menanggapi
hal tersebut, menurut Fajar pihak Rektorat UI membuka kanal pengaduan di situs
UI untuk menampung pengaduan tindakan kekerasan seksual di lingkungan UI. Namun
hal ini menurut Fajar tidak efektif karena penanganan kekerasan seksual harus
menjamin kerahasiaan identitas pelapor.
Fajar
menambahkan bahwa meskipun telah dirumuskannya SOP Penangangan kekerasan
seksual di lingkungan kampus hal itu tidak menjamin terwujudnya kampus aman dari
kekerasan seksual. Karena menurutnya, implementasi dari subtansi SOP itu
sendiri sulit untuk direalisasikan karena beberapa kendala salah satunya tidak
adanya dasar hukum yang kuat atau rujukan hukum.
“Contohnya
adalah hambatan dari pengesahan Peraturan Rektor yang diintervensi sejumlah
dosen,” jelas Fajar.
Diakhir
pemantik diskusinya, Fajar menjelaskan bahwa kendala kekosongan hukum terkait
penanganan kekerasan seksual ini coba disuarakan oleh jaringan muda kampus yang
menuntut segera dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tentang Penanganan Kekerasan Seksual dilingkungan kampus.
“Selain
itu jaringan muda kampus juga menuntut agar segera disahkannya RUU P-KS,” jelas
Fajar.
Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Kampus, Jerat Pelaku Kerap Dihapus
Dilatarbelakangi
meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual dalam lingkup kampus, Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta (FH UPNVJ) menyelenggarakan diskusi yang bertemakan Kekerasan
Seksual
Kamis,
(7/5) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ
menyelenggarakan Duplik yang bertajuk “Kekerasan Seksual: Demi Nama Baik
Kampus, Jerat Pelaku Kerap Dihapus”. Pada Duplik kali ini menghadirkan dua
pemantik diskusi, yakni Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Asfinawati, dan Aktivis Perempuan, Lini Zurlia. Pada Duplik ini juga
dipandu oleh Dinda Putri, selaku staff Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak
sebagai moderator.
Asfinawati
membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual di Kampus
dipengaruhi oleh relasi kuasa yang timpang. Menurutnya, bisa saja dosen
melakukan kekerasan seksual kepada mahasiswa, staf tata usaha kepada mahasiswa
atau bahkan antar mahasiswa itu sendiri. Hal ini diperparah dengan banyaknya
kasus yang tak berlanjut dan berhenti di tahap kepolisian.
“Para
penyintas sekarang lebih berani untuk speak up ini sebuah nilai positif
untuk sama-sama menguatkan,” jelas Asfin Ketika diskusi berlangsung.
Lebih
lanjut, Asfin juga mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual sudah menjadi suatu
hal yang bersifat turun temurun. Menurutnya kekerasan seksual yang di alami
oleh teman-teman mahasiswa saat ini terjadi karena tidak pedulinya institusi pendidikan
sehingga membiarkan hal ini terus terjadi.
Asfin
juga berpendapat kekerasan seksual yang kita lihat saat ini adalah gejala dari
orang orang yang beranggapan bahwa isu perempuan atau isu gender tidak terlalu
penting. Ia mencontohkan seperti harusnya penyintas (korban) harus diam demi
nama baik institusi.
“Jadi
artinya penyintas kekerasan seksual itu harus menjaga nama baik kampus, alumni,
mahasiswa dan lainnya,” keluh Asfin.
Kondisi
yang meminggirkan isu gender dengan isu lainnya, membuat Asfin teringat akan
kondisi gerakan sosial pada masa orde baru. Ia mengatakan bahwa ketika masa
awal orde baru, banyak yang meminggirkan isu perempuan yang dianggap
mengacaukan konsolidasi ketika waktu itu.
“Nanti
saja mengusung isu perempuan, karena saat ini (saat orde baru) kita sedang
mengususng isu demokratisasi negara, jangan sampai isu perempuan ini
mengacaukan konsolidasi,” tambah Asfin.
Asfin
juga beranggapan, banyaknya pelaku kekerasan seksual yang tidak terkena sanksi
menandakan bahwa tidak adanya hukum yang jelas untuk menjerat pelaku. Menurutnya,
saat ini tidak ada yang sungguh-sungguh memetakan dan mengakomodir pelaku
kekerasan seksual. Menurutnya, ini menandakan buruknya cermin sistem hukum
Indonesia jika dilihat dari substansi penegakan pelaku kekerasan seksual.
“Jadi
sebenarnya tidak ada sistem hukum yang dapat membela korban siapapun korbannya,”
tambah Asfin.
Senada
dengan Asfin, Lini Zurlia juga beranggapan bahwa kekerasan seksual di kampus terjadi
karena relasi kuasa yang sangat timpang. Lini menjelasakn, yang dimaksud dengan
relasi kuasa adalah seseorang yang memiliki derajat diatas biasanya akan
menganggap rendah atau remeh siapa yang dianggap derajat yang rendah.
“Orang-orang
yang holding powerthe most biasanya pekerja kampus, dosen,
rektorat, dekanat,” jelas Lini.
Lini
juga menambahkan, jika pelaku kekerasan seksual adalah sesama mahasiswa,
biasanya dilakukan oleh mahasiswa laki-laki. Menurutnya itu terjadi karena
banyak yang beranggapan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dibandingkan
perempuan, sehingga berpikir bahwa boleh melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Berbicara
soal kekerasan seksual, Lini menjelaskan bahwa ada institusi yang sudah
mengeluarkan edaran perihal penanganan kekerasan seksual di kampus. Ini
dikeluarkan dan diedarkan di kampus yang berada dalam naungan Kementerian
Agama.
“Isinya
sangat bagus, karena merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Komnas Perempuan,”
tambah Lini.
Lini
juga menjelaskan berpihal bentuk-bentuk kekerasan seksual. Tetapi menurut Lini,
yang paling sering terjadi adalah cat calling. Lini juga beranggapan
bahwatujuan dari cat calling bukan sekedar menyapa, tetapi ada
unsur untuk merendahkan seseorang, dalam hal ini perempuan.
“Merendahkan
disini biasanya terjadi akibat cara pemikiran bahwa laki-laki posisinya ada
diatas derajat perempuan. Yang berarti penempatan Laki laki lebih istimewa
dibanding perempuan,” kata Lini.
Lini
beranggapan, hal itu terjadi karena dipengaruhi oleh kultur sosial di
masyarakat, sehingga mempengarhui bagaimana cara pandang orang-orangnya. Jika pandangan
salah ini terus didiamkan, yang terjadi seterusnya masyarakat akan memandang
derajat perempuan lebih rendah dibandingkan derajat laki-laki.
Polemik Pembebasan Napi. Napi Berulah, Masyarakat Resah?
Situasi akibat pandemi Coronavirus
Disease-2019 (Covid-19), pemerintah mengeluarkan Narapidana (Napi) untuk
mencegah penularan Covid-19. Berbagai polemik pun muncul di masyarakat. BEM FH
UPNVJ menyelenggarakan diskusi via zoom untuk membahas mengenai kebijakan
tersebut.
Kamis,
(30/4) lalu, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
(FHUPNVJ) menyelenggarakan Diskusi Publik (Duplik) yang bertajuk “Polemik
Pembebasan Napi. Napi Berulah Masyarakat Resah?”. Pada Duplik kali ini
menghadirkan tiga pemantik diskusi yakni, Dosen Hukum Pidana FH UPNVJ,
Beniharmoni Harefa, Ketua Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI), Arip Yogiawan, serta Peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) Komisi
Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar.
Duplik kali ini juga dimoderatori oleh Ghatfan Hanif, selaku Staf Kastrat BEM
FH UPNVJ.
Beniharmoni
Harefa membuka diskusi dengan menjelaskan alasan pembebasan Narapidana (Napi)
di tengah pandemi Coronavirus Disease-2019 (Covid-19). Ia menjelaskan
bahwa situasi lapas di Indonesia yang over crowded dan capacity menyebabkan
menerapkan penerapan physical distancing di dalam lapas sangat padat,
sehingga mengakibatkan mudahnya penularan penyakit.
“Contoh
tempat tertutup yang tertular Covid-19 seperti lembaga Pendidikan calon-calon
perwira polisi dan asrama bethel,” jelas Beni.
Lebih
lanjut, Beni juga menjelaskan sejatinya paradigma hukum pidana yang baru di
Indonesia telah meninggalkan pidana yang sifatnya retributive dan menuju
pemidanaan yang lebih bersifat korektif, rehabilitatif, dan restorative. Baginya,
pidana penjara mengarah pada ultimum remedium atau sebagai obat terakhir.
Pemidanaan seperti ini menurutnya tidak efektif dan kedepan memerlukan untuk melakukan
revisi peraturan perundang-undangan
Menurutnya,
Kebijakan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020
tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak
dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 sudah sesuai
dengan paradima hukum pidana modern. Meskipun ia juga mengakui masih banyak
kelemahan terkait peraturan tersebut.
Menurut
Beni, salah satu kelemahannya dari Permenkumham ini terkait tidak optimalnya
fungsi pengawasan. Kelemahan itu menurut Beni, meliputi kebijakan dikeluarkan
dan diserahkan kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang bertanggung jawab atas Napi
yang dikeluarkan yang tercantum dalam Pasal 19.
“Jumlah
Bapas ada 71, pembimbing kemasyarakatan hanya 1.222 ribu. Seharusnya melibatkan
pemangku kepentingan lainnya untuk mengawasi para Napi seperti Bupati ataupun Camat,”
kata Beni saat diskusi berlangsung.
Beni
juga menjelaskan, bahwa Napi yang dibebaskan saat pandemi Covid-19 adalah yang
dikategorikan dalam pidana umum. Sementara Napi pidana khusus seperti terorisme,
narkotika, kejahatan keamanan negara, kejahatan terhadap HAM dan transnasional
tak termasuk Napi yang dikeluarkan menuurt Permenkumham ini.
Beni
juga mempertanyakan apakah dengan dibebaskannya Napi akan menimbulkan keresahan
di tengah masyarakat. Karena menurutnya, dari jumlah Napi yang dikelarkan
sebanyak 38.822 orang, yang berulah Kembali hanya sekitar 27-30 orang.
“Itu
hanya sekitar 0,07% dari jumlah yang dibebaskan. Nanti bisa kita simpukan
sendiri apakah jumlah tersebut memang menimbulkan keresahan di masyarakat?,”
kata Beni.
Terkait
Napi yang berulah, Beni juga menegaskan bahwa Menteri Hukum dan Ham (Menkumham)
telah mengatakan bahwa bagi Napi yang telah dibebaskan dan nantinya berulah
kembali, akan dikenakan sanksi dan hukuman yang lebih berat.
Senada
dengan Beni, Arip Yogiawan menilai, pembebasan Napi yang dianggap meresahkan
masyarakat menurutnya hanyalah isu dan framing semata. Menurutnya, potensi
kriminalitas bisa menimpa siapa saja, tak hanya menitikberatkan pada Napi
semata.
Lebih
lanjut, menurut Yogi, situasi masyarakat saat ini adalah wabah Covid-19 yang menjadi
pukulan pertamn. Pukulan kedua adalah terkait tentang permasalahan ekonomi yang
nantinya akan berdampak pada faktor yang menimbulkan kriminalitas karena sebab
kehilangan pekerjaan, usaha susah, bahan makanan sulit.
“Potensi
kriminalitas bisa siapa saja bukan hanya menitikberatkan pada Napi,” jelas
Yogi.
Yogi
juga menjelaskan seharusnya bagi Napi yang dibebaskan ada jaminan untuk
diterima masyarakat. Ia juga berpesan agar jangan terlalu cepat menghakimi dan
melakukan framing terkait tindakan kriminalitas di tengah pandemi saat ini.
Rivanlee
Anandar juga memberikan pandangannya terkait dengan pembebasan Napi di tengah
pandemi Covid-19. Menurutnya, data dari KontraS menyebutkan bahwa terdapat 473 Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas). Pada 2013 – 2019 kapasitasnya naik cukup signifikan
sebesat 160 ribu – 260 ribuan. Lebih lanjut, menurut Rivanlee, sebelum adanya
pandemi fasilitas dalam lapas juga belum baik. Data kontras menyebutkan
terdapat dua penyakit yang setidaknya menjadi penyebab narapidana di lapas,
yakni leptospirosis dan tuberculocis.
Menurut
Rivanlee, pemenjaraan tidak selamanya efektif. Menurutnya, jika tindak pidana
yang tidak ada kekerasan, dan menimbulkan korban, apakah harus dipidana serta
perlu adanya petimbangan hukum. Selain
itu, menurut Rivanlee juga terdapat semangat punishing people dari
aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus pidana Indonesia.
“Artinya
ada kasus ringan lalu dipenjara. Contohnya kriminalisasi bagi petani karena adanya
privatisasi korporasi. Hal hal itu akan menjadi over crowded di lapas,”
kata Rivanlee.
Lebih
lanjut, Rivanlee mengatakan bahwa kemungkinan untuk mengulangi kejahatan
Kembali saat dibebaskan nantinya akan lebih kecil dari data 0.07% dengan syarat
risk assessment harus berjalan dengan baik oleh Kemenkumham. Menurutnya Pemerintah
juga harus memprioritaskan siapa saja yang harus diberikan asimilasi ketika
pandemi Covid-19. Seperti kelompok Napi yang umurnya lebih dari 65 tahun, punya
penyakit bawaan, ibu hamil atau sedang memiliki anak, tindak pidana ringan,
tindak pidana tanpa korban dan kekerasan.
Apakah
kebijakan pembebasan Napi sudah menjalankan risk assessment, pengawasan.
dan pembinaan terhadap Napi sudah berjalan baik atau malah kebijakan ini menjadi
simalakama bagi pemerintah,” kata Rivanlee.