Disetujuinya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke DPR menjadi UU no.19 tahun 2019 dan diberlakukannya UU KPK dinilai melemahkan KPK. Maka dari itu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (FH UPNVJ) menyelenggarakan diskusi publik bertemakan dampak dari Revisi UU KPK yang menghancurkan marwah KPK.
Jumat (4/6) Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM FH UPNVJ menyelenggarakan Duplik yang bertajuk “Revisi UU KPK Menghancurkan Marwah KPK?”. Pada Duplik kali ini Kastrat BEM FH UPNVJ menghadirkan tiga pemantik diskusi, yakni Faisal Djabbar selaku pegawai KPK, Dr. Beniharmoni Harefa, SH., LL.M selaku Dosen Fakultas Hukum UPNVJ dan Feri Amsari, SH., M.H., LL.M selaku Aktifis Hukum dan Akademisi Indonesia. Duplik kali ini juga dipandu oleh Herdino Fajar Gemilang, selaku staf Kastrat BEM FH UPNVJ yang bertindak sebagai moderator.
Faisal Djabbar sebagai pemantik pertama menyampaikan bahwa proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) adalah sebuah pelanggaran hukum dari pimpinan KPK karena memaksakan adanya tes TWK padahal UU KPK sama sekali tidak mewajibkan pegawai KPK untuk mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan. Hal semacam itu dinilai semacam pelanggaran terhadap Undang – undang, persoalan 75 pegawai KPK bukan sekedar persoalan pemikiran namun persoalan sebuah upaya sistematis untuk memusnahkan KPK, memusnahkan integritas dan keberanian pegawai KPK untuk melawan kebijakan pimpinan yang tidak sesuai dengan nilai nilai KPK.
“Ada satu hal yang perlu kita fokuskan bahwa persoalannya bukan hanya sekedar revisi uu KPK dan penyingkiran 75 pegawai KPK, yang harus kita sadari pula adalah bahwa ada perubahan KPK dan lebih fokusnya upaya pelemahan terhadap badan KPK itu sendiri,” jelas Faisal.
Beniharmoni menyampaikan, seharusnya yang direvisi terlebih dahulu adalah materiilnya bukan formilnya, dan yang paling penting sekali untuk direvisi itu UU Tipikor serta pengesahan yaitu RUU perampasan aset yang dimana tahun ini tidak masuk ke prolegnas prioritas. Selain itu, menurutnya juga dalam pengalihan status seharusnya tidak boleh merugikan pegawai KPK dengan alasan apapun dan sudah diatur di dalam putusan MK.
“Pemberantasan korupsi difokuskan saja ke KPK dan lembaga lembaga lain biarlah mereka mengurus maling ayam dan lain semacamnya, bicara korupsi terutama penindakannya cukup KPK saja yang bertindak karena KPK bukan lembaga ad hoc melainkan lembaga permanen maka seharusnya KPK lah yang melakukan penindakan, dan terakhir seharusnya KPK diperkuat bukan digerogoti seperti ini,” jelas Beniharmoni.
Pada diskusi kali ini Feri Amsari menyampaikan bahwa faktanya memang revisi ini memiliki banyak kelemahan bahkan semakin jauh KPK dari ciri ciri ideal sebuah Lembaga Pemberantasan Korupsi.
“Lembaga independen dan berintegritas seperti KPK seharusnya memiliki ciri – ciri lembaga yang baik seperti dicantumkan di dalam konstitusi kalo tidak dicantumkan maka setiap tahun lembaga berintegritas ini akan diancam oleh upaya perubahan undang – undang. Kedua, KPK harus diberikan kewenangan – kewenangan khusus, contohnya KPK sering dilemahkan karena tidak memiliki kewenangan senjata. Ketiga, lembaga yang pimpinan dan pegawainya diberi jaminan hidup dari saat bekerja hingga pensiun.” jelas Feri.
Lebih lanjut, Feri berpendapat, hal ini tidak hanya untuk menghalangi KPK untuk memberantas korupsi.
“Revisi sama sekali tidak memberikan perlindungan terhadap KPK malah memperlemah KPK itu sendiri seperti SP3, tujuannya penyingkiran ini menyasar pegawai pegawai yang sedang menangani kasus kasus penting.” tutur Feri.